Feeds:
Pos
Komentar

Perpustakaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang merefleksikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Di akhir abad ke 20, di saat teknologi elektronik mulai memasuki babak baru di paradaban manusia, maka perobahanpun mulai terjadi. Angka dan huruf digital mulai muncul di mobil, tape, termometer, dan lain-lain. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mulai terbiasa menggunakan keyboard dari pada mesin tik untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru atau dosen. Komputer lebih sering dimanfaatkan dari pada sebelumnya. Bahkan masyarakat sudah mulai terbiasa berinteraksi dengan peralatan elektronis bahkan dengan teknologi komunikasi, seperti iPod, handphone, dan internet.

Bila pemanfaatan teknologi informasi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, maka pada organisasi atau lembaga tempat mereka bekerjapun telah dipengaruhi oleh teknologi ini. Perilaku masyarakat yang serba ingin cepat juga berdampak pada pola mereka dalam mencari dan memanfaatkan informasi. Salah satunya adalah mereka membutuhkan informasi yang up to date, akurat, dan terpercaya yang dapat diakses dari mana saja dan kapan saja.

Peran perpustakaan dalam masyarakat terus berkembang. Cara mayarakat berinterkasi dengan perpustakaan dan layanannya juga berkembang. Pustakawan harus mengikuti perkembangan teknologi dan memahami perilaku pemakai. Perobahan tersebut seharusnya mampu meningkatkan peran perpustakaan. Perpustakaan yang bertugas mengelola dan menyediakan informasi kepada pemakainya sepantasnya juga berkembang. Madden, Ford, dan Miller (2007) melakukan penelitian terhadap penggunaan sumber informasi oleh siswa dalam pelajaran Bahasa Inggris menunjukkan kecendrungan bahwa siswa akan termotivasi mengubah perilaku pencarian informasinya (information-seeking behaviour) apabila sumber-sumber informasi yang tersedia tidak lagi mampu menjawab kebutuhannya. Hasil penelitian yang dilakukan  oleh Haycock (2001) membuktikan bahwa kolaborasi antara guru, pustakawan dengan teknologi yang disediakan oleh perpustakaan mampu meningkatkan kemampuan siswa, bahkan pada siswa yang berlatar belakang ekonomi lemah sekalipun.

Dari hasil penelitian di atas dapat diartikan bahwa perobahan perilaku masyarakat akibat perkembangan teknologi informasi harus disikapi dengan cepat oleh perpustakaan dengan mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk memperkuat fungsi perpustakaan sebagai pusat belajar. Dalam buku pedoman penyelenggaran perpustakaan sekolah yang diterbitkan oleh IFLA/Unesco bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional R.I. (2008) menyatakan perpustakaan sekolah menyediakan informasi dan ide yang merupakan fondasi agar berfungsi secara baik di dalam masyarakat masa kini yang berbasis informasi dan pengetahuan. Perpustakaan sekolah merupakan sarana bagi para murid agar terampil belajar sepanjang hayat dan mampu mengembangkan daya pikir agar mereka dapat hidup sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Thomas Frey, Direktur DaVinci Institute yang juga dikenal sebagai “Senior Futurist,” menulis makalah dengan judul “The Future of Libraries” (dapat diakses pada: www.davinciinstitute.com/ page.php?ID=120)  memberikan rekomendasi apa yang perlu dilakukan perpustakaan untuk menghadapi perobahan tersebut.

  1. Evaluasi pengalaman yang dihadapi perpustakaan.  Mulailah dengan menguji pandangan, ide, dan apa yang dipikirkan pemakai, kemudian temukanlah masalah dan pemecahannya.
  2. Perkembangan teknologi informasi baru.  Hampir setiap hari produk teknologi diperkenalkan dan terkadang pemakai sulit untuk memutuskan mana yang sesuai untuk mereka. Karena belum ada satupun lembaga yang mengurus masalah ini, maka peran ini merupakan peluang yang bagus untuk dilakukan oleh perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya bertindak sebagai penyedian sumber-sumber informasi, tetapi juga mampu menjadi ahli untuk teknologi baru, seperti ciptakan bagian layanan informasi teknologi baru, rekrut staf yang ahli dengan teknologi agar pemakai dapat berkomunikasi dengan perpustakaan seputar teknologi, dan kembangkan pendidikan pemakai untuk teknologi baru.
  3. Himpun dan lestarikan “memories” dari pemakai perpustakaan.  Mulailah dengan mengabadikan foto-foto dari pemakai perpustakaan, kemudian himpun karya-karya lain yang berkaitan dengan pemakai. Jangan biarkan semua hilang.
  4. Ciptakan ruang kreativitas. Karena perkembangan perpustakaan masih misteri untuk 20 tahun yang akan datang, maka perpustakaan perlu menyediakan ruang kreativitas untuk pemakai dan pustakawan. Ruang kreativitas tersebut antara:
  • Ruang Blogger
  • Studio Seni
  • Studio Rekaman
  • Studio Video
  • Ruang Imajinasi
  • Ruang Teater-Drama

(sepenggal tulisan yang belum usai)

A. Pengertian Manajemen

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno, yaitu ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen menurut  Stoner (1986) adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan sumua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Artikel Lengkap Disini: Manajemen Perpustakaan Sekolah


* Disampaikan pada

Pendahuluan

Pendidikan adalah unsur penting dalam pembangunan. Sedemikian pentingnya, UNDP memasukkan unsur kualitas pendidikan dalam perhitungan Human Development Index. Menurut Human Development Report tahun 2005 yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2007, Indonesia menempati peringkat ke-107 pada kualitas sumber daya manusia. Nilai human development index Indonesia adalah 0,728 yang merupakan agregat dari indeks pendidikan (education index) sebesar 0,80, indeks harapan hidup (life expentancy index) sebesar 0,69 dan indeks produk domestik bruto (gross domestic product index) sebesar 0,58. Dengan nilai tersebut, maka Indonesia menempati kategori middle human development index.

Artikel Lengkap Klik di sini: https://arwendria.files.wordpress.com/2010/06/menggagas.pdf

Latar Belakang

Peradaban manusia dibangun berdasarkan informasi yang berasal dari hasil pikir manusia sebelumnya, sehingga setiap generasi dapat mengembangkannya dan membangun sebuah peradaban baru, demikian seterusnya. Oleh karenanya setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk berbagi hasil pikirnya demi kemajuan dan kebaikan masyarakatnya, bangsanya dan negaranya.

Di sisi lain, keanekaragaman suku bangsa Indonesia juga akan menghasilkan karya budaya bangsa yang beranekaragam pula baik bentuk maupun jenisnya, seperti tarian, nyanyian, karya seni rupa dan lain sebagainya yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi dan dilestarikan sebagai sumber dari kekayaan intelektual Indonesia.

Sangat disadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya literatur yang diterbitkan, baik oleh penerbit swasta maupun pemerintah. Penerbitan ini lebih ditujukan untuk memperkaya informasi masyarakat. Bahkan, hasil karya seni telah banyak direkam dalam berbagai media sebagai alat untuk menginformasikan hasil karya tersebut.

Karya-karya manusia tersebut tentu perlu dikelola dengan baik agar jejak rekam karya anak bangsa tersebut dapat terus ditemukan oleh generasi selanjutnya. Kalau tidak, dikuatirkan rekaman peristiwa yang telah dihasilkan oleh berbagai lembaga tersebut akan sulit ditemukan kembali, sehingga terjadinya kehilangan informasi.

Mengingat betapa pentingnya mengelola karya cetak dan karya rekam tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu menyusun suatu perangkat hukum yang mengatur tata cara penyerahan karya cetak dan karya rekam tersebut kepada lembaga yang ditunjuk dan berkompeten untuk mengelola karya tersebut. Pada tahun 1990, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-undang No. 4 tahun 1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1990, Tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990.

Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa setiap penerbit yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan sebuah kepada kepada Perpustakaan Daerah (Perpusda) di ibukota Provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 bulan diterbitkan. Dengan demikian setiap penerbit ”diharuskan” menyerahkan karya-karyanya ke lembaga yang telah ditunjuk tersebut. Bahkan Undang-undang tersebut juga mengatur tentang sanksi yang dikenakan kepada setiap penerbit yang tidak menyerahkan karyanya.

Kenyataanya menurut Dra Hj. B. Rohimah dari Direktorat Deposit Bahan Pustaka Perpustakaan Nasional R.I. bahwa masih banyak penerbit yang belum menyerahkan karyanya ke Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah. Bila demikian, apa yang menjadi kendala pelaksanaan UU No. 4 tahun 1990 tersebut?

Manfaat UU No, 4 tahun 1990 bagi Penerbit

Secara umum manfaat yang diperoleh oleh negara terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut adalah terhimpun dan terdatanya karya-karya yang diterbitkan oleh setiap penerbit. Di sisi penerbit dengan diserahkannya karya-karya yang mereka hasilkan ke Perpustakaan Nasional dan perpustakaan daerah maka secara tidak langsung mereka telah melakukan promosi gratis.

Perpustakaan Nasional secara berkala menerbitkan Bibliografi Nasional Indonesia (BNI) yang memuat karya-karya yang telah dipublikasikan di seluruh Indonesia. Bibliografi tersebut disebarkan ke seluruh perpustakaan daerah dan pusat-pusat informasi lain di Indonesia. Di setiap perpustakaan daerah, bibliografi ini kemudian dipajang di ruang referensi dan rak pajangan lainnya yang mudah dijangkau oleh pemakainya. Dapat dibayangkan apabila satu perpustakaan daerah setiap harinya melayani rata-rata 500 orang, dan 1% diantaranya menggunakan bibliografi untuk memenuhi kebutuhan informasinya, maka ada 5 orang setiap harinya yang melihat dan menemukan karya-karya yang terdapat dalam bibliografi tersebut.

Selain itu, Direktorat Deposit Bahan Pustaka Perpustakaan Nasional R.I. secara berkala menerbitkan Daftar Bahan Pustaka Deposit yang tedapat di perpustakaan. Bahkan data tersebut sudah dapat diakses melalui internet. Dengan demikian, pemakai mengetahui koleksi terbaru apa saja yang telah diterbitkan.

Koleksi deposit tersebut disimpan dan dipajang bukan untuk dipinjam dibawa pulang oleh pemakai perpustakaan. Pemakai hanya diperkenankan melihat dan membaca koleksi tersebut di ruang baca khusus deposit. Data peminjaman yang dibaca di tempat tersebut dicatat sehingga dapat diketahui buku atau rekaman apa saja yang paling banyak dipinjam oleh pemakai. Data tersebut digunakan oleh perpustakaan sebagai informasi pengadaan. Bagi pemakai sendiri, apabila mereka tertarik dengan koleksi tersebut, mereka dapat membelinya di toko buku.

Implementasi UU No, 4 tahun 1990 di Sumatera Barat

Dalam pelaksanaan serah simpan karya cetak dan karya rekam pada Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat, dilakukan dalam 3 (tiga) kegiatan, diantaranya pengumpulan karya cetak dan karya rekam sebagai koleksi deposit, pengelolaan karya cetak dan karya rekam sebagai koleksi deposit serta pendayagunaan karya cetak dan karya rekam sebagai koleksi deposit.

  1. Pengumpulan Karya Cetak dan Karya Rekam sebagai Koleksi Deposit Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat.

Ada 4 (empat)  tata cara dalam pengumpulan karya cetak dan karya rekam sebagai koleksi deposit Badan Perpustakaan provinsi Sumatera Barat, sebagai berikut:

  1. Pengidentifikasian para sasaran wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam yang ada di wilayah provinsi Sumatera Barat.
  2. Penyusunan daftar nama orang, persekutuan atau badan usaha yang menghasilkan karya cetak dan karya rekam di provinsi Sumatera Barat yang merupakan sasaran wajib serah karya rekam di Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat, serta alamat dari para wajib serah karya rekam tersebut yang dapat dihubungi.
  3. Pengiriman surat pemberitahuan tentang kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam kepada para wajib serah karya cetak dan rekam dengan melampirkan Undang-undang No.4 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 1991 serta menjelaskan mengenai isi dari undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut agar para wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam sadar akan kewajibannya untuk menyerahkan karya cetak dan karya rekam yang dihasilkannya kepada Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, juga dimuat mengenai ketentuan-ketentuan bahwa terhadap pengusaha rekaman suara yang menerima surat pemberitahuan tersebut agar bersedia menyerahkan hasil karya rekamnya pada Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1990 bahwa penyerahan hasil karya cetak dan karya rekam tersebut selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak disebar luaskan atau dipasarkan.
  4. Pembentukan tim hunting atau pelacak karya cetak dan karya rekam. Tim hunting atau pelacak karya cetak dan karya rekam dibentuk melalui rapat kerja yang dipimpin oleh Kepala Bidang Deposi Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Tujuan dibentuknya tim hunting ini adalah untuk menindaklanjuti surat pemberitahuan kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam, serta mendapatkan karya-karya rekam yang dihasilkan oleh pengusaha rekaman tersebut sebagai kewajiban serah simpannya. Kegiatan pelacakan ini dilakukan pada setiap jenis karya cetak dan karya rekam yang telah beredar dipasaran serta melakukan kunjungan langsung ke sasaran wajib serah karya cetak dan karya rekam yang berada di provinsi Sumatra Barat. Pelacakan langsung ke sasaran ini dilakukan dengan pendekatan dan penjelasan mengenai kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam pada bidang deposi Badan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat. Setelah dilakukan kegiatan pelacakan maka tim pelacak karya rekam membuatkan berita acara kegiatan yang akan dilaporkan pada Kepala Bidang Deposit. Dari hasil pelaksanaan serah simpan karya cetak dan karya rekam pada bidang deposit Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat telah diterima beberapa hasil karya rekam dari beberapa pengusaha rekaman yang berada di wilayah provinsi Sumatra Barat, daftar karya rekam tersebut adalah:
No Nama sasaran wajib serah karya rekam Tahun berdiri Jumlah karya rekaman suara yang sudah diserahkan
1. Carolin record 1992 _
2. Edo record 1999 _
3. Gita Virma record 1994 11
4. Kreatif record 1995 _
5. Marta Linda record 2001 _
6. Minang record 1995 31
7. P.H Entertainment 2000 _
8. Pitunang record 1993 11
9. Sinar Padang record 1992 32
10. Tanama record 1982 43
J u m l a h 128

Sumber: Syandra, Roni. (2006). Efektifitas Undang-undang No.4 Tahun 1990 Tetang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam terhadap Pelaksanaan Serah Simpan Karya cetak dan karya rekam di Badan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Padang: UBH.

  1. Pengelolaan Karya cetak dan karya rekam Sebagai Koleksi Deposit Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat.

Terhadap karya cetak dan karya rekam yang diterima oleh bidang deposit Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat dilakukan proses inventaris, yaitu dengan membuat deskripsi bibliografis tiap karya cetak dan karya rekam yang diterima dan dibuatkan nomor panggil yang digunakan untuk mengetahui berapa judul yang telah diterima untuk setiap jenis karya cetak dan karya rekam pada tahun tertentu serta sebagai pedoman penyimpanan agar memudahkan penemuan kembali karya rekam tersebut untuk pendayagunaannya.

Setelah itu, karya cetak dan karya rekam disimpan di lemari dengan bahan kaca atau lemari kaca. Penggunaan lemari kaca juga dapat mempermudah untuk menemukan karya cetak dan karya rekam yang akan didayagunakan. Apabila pemakai perpustakaan ingin menggunakan koleksi tersebut, mereka terlebih dahulu mengisi buku tamu pada bidang deposit perpustakaan dengan mencantumkan nama, pekerjaan, status pendidikan, alamat serta tandatangan.

Permasalahan Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat.

Dari hasil penelitian penulis pada bidang deposit Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat dan  pada dua Perusahaan rekaman yang berdomisili di kota Padang, ada beberapa temuan permasalahan dalam pelaksanaan Undang-undang No.4 Tahun 1990 di propinsi Sumatera Barat khususnya dalam pelaksanaan serah simpan karya rekam suara, diantaranya:

1. Permasalahan pada para wajib serah simpan karya rekam

Dimana masih kurangnya kesadaran para wajib serah simpan karya rekam suara untuk mengantarkan langsung atau mengirimkan hasil karya rekam suaranya pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat. Sehingga penyerahan karya rekam suara perlu dijemput langsung oleh tim hunting Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat, dengan mendatangi para wajib serah simpan karya suara. Jika tim hunting tidak menjemput langsung hasil karya rekaman tersebut, maka pelaksanaan serah simpan karya rekam tidak dapat terlaksana.

2. Permasalahan Pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat.

Permasalahan pertama adalah terbatasnya biaya operasional tim hunting, sehingga pelaksanaan hunting hanya dilakukan sekali dalam setahun saja. Permasalahan kedua yaitu secara administratif, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah tidak secara berkelanjutan menyurati penerbit supaya menyerahkan karya-karya yang telah diterbitkannya ke perpustakaan.

  1. Permasalahan dalam Penerapan Sanksi

Khususnya dalam penerapan sanksi terhadap para wajib serah simpan karya rekaman suara di Propinsi Sumatera Barat, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena selama ini tim pemantau dan pengawas pelaksanaan serah simpan karya rekaman suara Sumatera Barat tidak menjalankan tugasnya, sebagai tim yang ditunjuk dalam penerapan sanksi kepada para wajib serah simpan karya rekam suara yang tidak memenuhi kewajibannya tersebut.

Menanggapi persoalan tersebut, Ketua Ikapi Arselan Harahap melihat bahwa sebenarnya persoalan utama terletak pada sifat UU yang tidak tegas. Keberadaan UU No. 4/1990 dinilai terlalu lemah dan tidak mempunyai sanksi tegas. Lebih lanjut dikatakan bahwa akan lebih baik bila dilengkapi dengan sanksi hukum pidana. Lemahnya posisi UU No. 4/1990 dikemukakan pula oleh Letkol Pol Agus Nugroho dari Mabes Polri. Meski dalam pasal 6 disebutkan para pelanggar bisa didenda Rp 5 juta atau kurungan enam bulan penjara, tapi pada kenyataannya tidak dilaksanakan. Menurutnya bahwa dalam pasal-pasal itu tidak pernah disebutkan batas waktu penyerahan karya cetak dan rekaman. Hal senada juga dikemukakan Pustakawan Soekarman Kertosedono. Dikatakan bahwa keberadaan UU No. 4/1990 ternyata tidak bisa berjalan efektif meski sudah sering dilakukan sosialisasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa UU itu sifatnya hanya imbauan saja.

Simpulan

Lemahnya penerapan sanksi bagi penerbit yang tidak menyerahkan karya cetak dan karya rekamnya ke perpustakaan dan ketidaktahuan penerbit mengakibatkan pelaksanaan Undang-Undang No. 4 tahun 1990 tidak berjalan sebagaimana diamantkan. Walaupun banyak manfaat yang diperoleh oleh penerbit dengan menyerahkan karyanya ke perpustakaan, namun belum mampu menggugah penerbit untuk mematuhi undang-undang tersebut.


* Disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam bertempat di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Barat pada tanggal 29 Juli 2009.

penguji-peserta

Penguji dan Peserta Munaqasyah IIP

Latar Belakang

Organisasi merupakan sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama pula. Dalam mencapai tujuannya tak jarang sebuah organisasi mengalami krisis, baik yang berasal dari dalam organisasi tersebut, maupun oleh perobahan yang muncul tiba-tiba di luar jangkauannya. Tercapai atau tidaknya tujuan tersebut dapat dilihat dari apa saja yang telah dilakukannya.

Artikel lengkap dapat diklik di: https://arwendria.files.wordpress.com/2009/07/evaluasi.pdf

Selepas pandang

“… hari gini masih manual..? apa kata dunia…?” anekdot lepas yang diadopsi dari iklan layanan mayarakat di televisi untuk menggambarkan potret perpustakaan saat ini. Istilah manual  pada perpustakaan mengacu kepada aktivitas perpustakaan yang dilakukan hanya mengandalkan tenaga manusia, sedangkan istilah otomasi perpustakaan menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan repetitif sudah digantikan oleh alat atau yang lebih dikenal dengan teknologi ingormasi, seperti komputer. Istilah ini mulai populer di Indonesia sekitar era 1990-an.

Sejauh ini, perpustakaan masih dianggap institusi yang penting dalam dunia pendidikan. Para pelajar, mahasiswa, guru, dosen, bahkan masyarakat umum memanfaatkan perpustakaan untuk menambah pengetahuannya, atau bahkan sekedar melepaskan beban pikiran dengan bacaan-bacaan ringan yang disediakan perpustakaan. Bahkan perpustakaan dapat dijadikan tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Bila negara tersebut dikategorikan maju, maka perpustakaanya pasti maju juga dan begitu sebaliknya.

Ironis memang, ketika terjadi keterpurukkan dunia pendidikan di suatu daerah, jarang sekali perpustakaan yang disalahkan. Kalau memang perpustakaan merupakan suatu institusi yang dianggap penting, seharusnya perpustakaan bertanggung jawab penuh terhadap kemerosotan pendidikan. Sorotan para pengambilan kebijakan hanya tertumpah kepada rendahnya minat baca siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat, termasuk para pengambil kebijakan tersebut. Padahal minat baca tidak dapat dihubung-hubungkan dengan rendahnya kunjungan pemakai untuk memanfaatkan perpustakaan, karena minat ukurannya adalah kualitatif, sedangkan kunjungan dapat dianalisis secara kuantitatif.

Sekali lagi, tidak ada seorangpun dari pengambil kebijakan yang menyangkal bahwa perpustakaan itu tidak penting. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa perpustakaan tidak pernah maju-maju. Ada apa dengan perpustakaan? Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan tentang kebijakan pendidikan, tetapi lebih pada pendekatan apa yang harus dilakukan oleh pengelola perpustakaan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di era teknologi informasi yang telah merambah berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Kolaborasi antara perpustakaan dan teknologi informasi dalam pendidikan

Perpustakaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang merefleksikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Di akhir abad ke 20, di saat teknologi elektronik mulai memasuki babak baru di paradaban manusia, maka perobahanpun mulai terjadi. Angka dan huruf digital mulai muncul di mobil, tape, termometer, dan lain-lain. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mulai terbiasa menggunakan keyboard dari pada mesin tik untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru atau dosen. Komputer lebih sering dimanfaatkan dari pada sebelumnya. Bahkan masyarakat sudah mulai terbiasa berinteraksi dengan peralatan elektronis bahkan dengan teknologi komunikasi, seperti iPod, handphone, dan internet.

Bila pemanfaatan teknologi informasi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, maka pada organisasi atau lembaga tempat mereka bekerjapun telah dipengaruhi oleh teknologi ini. Perilaku masyarakat yang serba ingin cepat juga berdampak pada pola mereka dalam mencari dan memanfaatkan informasi. Salah satunya adalah mereka membutuhkan informasi yang up to date, akurat, dan terpercaya yang dapat diakses dari mana saja dan kapan saja.

Perpustakaan yang bertugas mengelola dan menyediakan informasi kepada pemakainya sepantasnya juga berkembang. Madden, Ford, dan Miller (2007) melakukan penelitian terhadap penggunaan sumber informasi oleh siswa dalam pelajaran Bahasa Inggris menunjukkan kecendrungan bahwa siswa akan termotivasi mengubah perilaku pencarian informasinya (information-seeking behaviour) apabila sumber-sumber informasi yang tersedia tidak lagi mampu menjawab kebutuhannya. Hasil penelitian yang dilakukan  oleh Haycock (2001) membuktikan bahwa kolaborasi antara guru, pustakawan dengan teknologi yang disediakan oleh perpustakaan mampu meningkatkan kemampuan siswa, bahkan pada siswa yang berlatar belakang ekonomi lemah sekalipun.

Dari hasil penelitian di atas dapat diartikan bahwa perobahan perilaku masyarakat akibat perkembangan teknologi informasi harus disikapi dengan cepat oleh perpustakaan dengan mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk memperkuat fungsi perpustakaan sebagai pusat belajar. Dalam buku pedoman penyelenggaran perpustakaan sekolah yang diterbitkan oleh IFLA/Unesco bekerjasam dengan Perpustakaan Nasional R.I. (2008) menyatakan Perpustakaan sekolah menyediakan informasi dan ide yang merupakan fondasi agar berfungsi secara baik di dalam masyarakat masa kini yang berbasis informasi dan pengetahuan. Perpustakaan sekolah merupakan sarana bagi para murid agar terampil belajar sepanjang hayat dan mampu mengembangkan daya pikir agar mereka dapat hidup sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Saat ini informasi dan pengetahuan telah banyak disebarkan melalui teknologi informasi. Belajar sepanjang hayat akan sangat berarti apabila informasi dan pengetahuan yang ada di perpustakaan telah dikelola sedemikian rupa sehingga dapat dipercepat penyebarannya dengan menggunakan teknologi informasi.

Memulai otomasi perpustakaan untuk menuju perpustakaan digital

Banyak cara dilakukan oleh perpustakaan untuk membangun otomasi perpustakaan. Mulai dari membeli, merancang sendiri, mengadopsi perangkat lunak khusus perpustakaan, sampai dengan memanfaatkan open source sortwarelibrary managemen system (OSS – LMS). Beberapa perpustakaan ada yang berhasil melakukan otomasi perpustakaan, namun banyak juga yang berguguran.

Banyak faktor yang menyebabkan gagalnya penerapan otomasi perpustakaan. Secara umum ada tiga faktor penyebab kegagalan implementasi otomasi perpustakaan. Pertama, perangkat lunak yang digunakan tidak bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perpustakaan.  Pengelola perpustakaan sering ikut-ikutan menggunakan perangkat lunak perpustakaan yang digunakan oleh perpustakaan lain tanpa memperhitungkan perbedaan karakteristik dengan perpustakaan tersebut. Bila perangkat lunak tersebut dirancang sendiri, maka perpustakaan harus memahami manajemen perpustakaan dengan baik, sehingga pengembang perangkat lunak mampu memahami kebutuhan perpustakaan dengan baik.

Kalau setiap perpustakaan membeli atau mengembangkan sendiri perangkat lunak untuk otomasi perpustakaannya, maka dapat dihitung berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan untuk membuat perangkat lunak sejenis. Sebenarnya, pihak-pihak terkait sudah mencoba membuat perangkat lunak khusus perpustakaan untuk dimanfaatkan bersama. Namun, pengembangannya sering terhenti di tengah jalan, sehingga perpustakaan yang menggunakan software tersebut juga berhenti mengaplikasikan perangkat lunak tersebut.

Saat ini sedang marak-maraknya penggunaan OSS, termasuk pada perpustakaan. Tercatat beberapa perangkat lunak gratis yang dapat diunduh dengan mudah melalui internet, seperti Senayan, OtomigenX, OpenBiblio, Koha, dll. Dari sekian banyak OSS yang beredar, Senayan merupakan perangkat lunak yang banyak mendapat perhatian dari pemerhati perpustakaan. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang secara berkala diupdate oleh pengembang berdasarkan masukan dari para pengguna Senayan di seluruh Indonesia. Perangkat lunak ini dikembangkan berbasis web, sehingga peralihan dari otomasi ke perpustakaan digital dapat dilakukan dengan serentak.

Karena prinsip dasar OSS adalah dikembangkan untuk umum, maka belum tentu perangkat lunak tersebut sesuai dengan kebutuhan perpustakaan. Agar sesuai dengan kebutuhan perpustakaan, sebaiknya beberapa perpustakaan sejenis berkolaborasi untuk mendasain ulang perangkat lunak tersebut sehingga sesuai dengan kebutuhan perpustakaan dengan biaya relatif lebih murah.

Kedua, terbatasnya pengetahuan staf terhadap dalam menggunakan perangkat lunak dan perangkat keras. Penguasaan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi merupakan harga mutlak untuk dipahami oleh pustakawan. Teknologi adalah alat untuk mencapai tujuan. Apabila tujuannya adalah untuk menyediakan akses ke informasi agar dapat ditemukan secara efektif dan efisien, maka cara memanfaatkan teknologi tersebut juga harus diketahui oleh pemakai. Pengetahuan terhadap sumber-sumber informasi menjadi bagian dari pekerjaan rutin pustakawan, dan pemakai harus mengetahui bagaimana memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut. Setiap pustakawan harus mampu memahami rencana strategis yang dikembangkan oleh perpustakaan. Selanjutnya, pustakawan harus mampu memahami perilaku pemakainya. Dengan kata lain, selain pustakawan mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komuikasi tersebut, pustakawan juga harus mampu melatih pemakai untuk memanfaatkan jasa perpustakaan dengan media tersebut.

Urs (2002) dalam Aqili dan Moghaddam (2007) dengan rinci menggambarkan bidang, tugas dan syarat keahlian dan pengetahuan yang mutlak dimiliki oleh pustakawan di era teknologi informasi dan komunikasi. Menurutnya, pustakawan harus memiliki pengetahuan dalam bidang kajian pemakai informasi, sumber-sumber informasi, penambahan nilai informasi, teknologi informasi, dan manajemen. Kompetensi inilah yang mutlak dimiliki oleh pustakawan di era teknologi informasi.

Menyikapi padangan Urs di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan memang harus dikelola oleh orang yang memiliki pengetahuan terhadap ilmu informasi dan perpustakaan, bukan oleh mereka yang “dipaksa atau terpaksa” bekerja di perpustakaan. Pustakawan menurut Undang-undang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007 seperti tertuang pada Pasal 1 adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Selanjutnya pada Pasal 29 ayat 3 menyebutkan:

“Pustakawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional perpustakaan.”

Secara nyata terlihat bahwa pengambil kebijakan sudah seharusnya mulai “mempekerjakan” mereka yang memiliki kualifikasi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Di sisi lain, amanat tersebut merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi lulusan jurusan atau program studi ilmu informasi dan perpustakaan. Sulistyo-Basuki (2007) mengatakan bahwa lebih dari tujuh ribu sekolah di Indonesia membutuhkan pofesi pustakawan.

Ketiga, perangkat teknologi informasi membutuhkan perawatan, bahkan pada perangkat tertentu perlu diperbaharui karena tidak lagi didukung dengan suku cadang di pasaran. Seringkali perpustakaan lalai dalam memasukkan aspek perawatan peralatan teknologi informasi dan komunikasi pada perencanaan tahunnya. Secara umum, biaya yang harus dialokasikan untuk perawatan peralatan tersebut lebih kurang sebesar 10% dari investasi.

Simpulan

Penggunaan teknologi informasi bukan dimaksudkan untuk menggantikan pekerjaan pustakawan, melainkan untuk mempercepat proses pekerjaan sehingga pustakawan dapat melakukan pekerjaan lain yang lebih berorientasi pada pemberian jasa informasi kepada perpustakaan. Informasi tersebut akan sangat bermakna bagi pemakai apabila informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka dan dapat mereka akses dari mana saja, kapan saja, dan melalui saluran apa saja.

Perpustakaan sebaiknya membiasakan diri telebih dahulu dengan otomasi perpustakaan sebelum menuju ke perpustakaan digital. Otomasi perpustakaan lebih pada percepatan in house activities, sedangkan perpustakaan digital pada nilai kolaborasinya. Ketika segala aspek perpustakaan telah siap, dan penggunaan teknologi informasi telah berkembang penggunaannya di lembaga induk, maka era digital di perpustakaan menjadi kepatutan.

Daftar Pustaka

Aqili, Seyed Vahid dan Alireza Isfandyari Moghaddam. (2008). Bridging the Digital Devide: The Role of Librarians and Information Professionals in Third Millennium. The Electronic Library; 20, 2, pg 226-237.

Haycock, Ken. (2001). Staff and Resources, Plus Best Practice, Affect Student Performance. Teacher Librarian; Dec; 29, 2; Academic Research Library. pg. 28

IFLA/UNESCO. Pedoman Perpustakaan Sekolah. http://www.ifla.org/VII/s11/pubs/school-guidelines.htm (diakses pada tanggal 26 April 2008)

Lance, Keith Curry. (2001). Proof of the power: Quality library media programs affect academic achievemen. MultiMedia Schools; Sep 2001; 8, 4; Academic Research Library. pg. 14

Madden, Andrew D.; Ford, Nigel J. and Miller, David. (2007). Information resources used by children at an English Secondary school: Perceived and actual levels of usefulness. Journal of Documentation. Vol. 63 No. 3, pp. 340-358

Sannwald, William W. (2007). Designing Libraries for Customers. Library Administration & Management; Summer; 21, 3; Academic Research Library. pg. 131

Saunders, Laverna M. (1999). The human element in the virtual library. Library Trends; Spring 1999; 47, 4; Academic Research Library. pg. 771


* Disampaikan pada Seminar Nasional Kebijakan Pengembangan Pendidikan Menghadapi Era Globalisasi dalam rangka Dies Natalis Universitas Lancang Kuning XXVII pada hari Jum’at 05 Juni 2009

Istilah otomasi perpustakaan mulai populer di Indonesia sekitar 1990-an. Walaupun saat ini paradigma tersebut mulai bergeser kearah perpustakaan elektronik (e-library) atau perpustakaan digital, tetapi konsep ini masih tetap “nyaring” didengungkan oleh pemula paham teknologi informasi. Beberapa perpustakaan perguruan tinggi telah lebih dahulu memanfaatkan tenologi ini. Bahkan telah dimulai semenjak tahun 1990-an. Selain dari kecukupan dana untuk membangun otomasi perpustakaan, perhatian pemerintah (Departemen Pendidikan) terhadap pengembangan otomasi perpustakaan juga relatif lebih besar. “Keberuntungan” ini memang lebih banyak diterima oleh perpustakaan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri. Tercatat beberapa kali perpustakaan perguruan tinggi negeri memperoleh bantuan software otomasi untuk meningkatkan layanan perpustakaan. Hampir sama halnya dengan perguruan tinggi, Perpustakaan Nasional juga beberapa kali menyediakan fasilitas software gratis kepada jaringan perpustakaannya. Bahkan setelah gagal beberapa kali, Perpustakaan Nasional tidak pernah patah arang untuk menyediakan software gratis untuk jaringan perpustakaannya. Namun seiring berjalannya waktu, pengelola perpustakaan mulai frustasi dalam memanfaatkan sistem otomasi perpustakaan yang telah mereka bangun. Kegalauan ini muncul antara lain akibat dari kegagalan sistem informasi (software), terutama menyangkut purna jual. Dari sinilah muncul stigma bahwa software “gratis” cendrung bermasalah. Konsep gratis disini sebenarnya bukan absolut. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Perpustakaan Nasional membeli software dari suatu vendor, kemudian didistribusikan kepada perpustakaan di bawah jaringannya. Namun, bagaimana dengan perpustakaan lain, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, dan beberapa perpustakaan perguruan tinggi yang tidak memiliki cukup biaya untuk membangun otomasi perpustakaan? Apakah dalam era teknologi informasi ini, mereka masih tetap bertahan dengan sistem tradisional? Saat ini telah terbuka kesempatan bagi perpustakaan yang memiliki keterbatasan dana dalam membangun otomasi perpustakaan, yaitu Open Source Software (OSS). Untuk itu, pada kesempatan ini akan dibahas seputar pemanfaatan OSS untuk perpustakaan. Apa itu Open Source? Secara gamblang open source dapat diartikan sebagai free software (bebas mendownload, bebas untuk digunakan, dan bebas untuk dilihat dan dimodifikasi. OSS adalah software yang menyediakan kode sumbernya (source code) dan dapat dimanfaatkan tanpa perlu mengeluarkan biaya. Selain itu, software tersebut dapat didistribusikan lagi tanpa ada diskriminasi. Hampir semua OSS didistribusikan melalui web dan tanpa perlu menandatangani persetujuan lisensi. Gerakan OSS telah dimulai pada tahun 1980an. Kemudian pada tahun 1998 beridiri organisasi Open Source Initiative (OSI). OSI bertujuan untuk memperoleh dukungan untuk OSS, artinya software tersebut juga menyediakan kode sumber seperti program (binary) yang sudah dapat dijalankan. OSI tidak menyediakan lisensi khusus, tapi mendukung berbagai macam tipe lisensi open source yang ada. Tujuan OSI adalah untuk merangkul perusahaan berbasis open source, perusahaan tersebut dapat menentukan sendiri bentuk lisensi open source yang mereka inginkan dan lisensi tersebut disahkan oleh OSI. Menurut Bimagets (2009:1) bahwa banyak perusahaan yang ingin me-release source code -nya tapi tidak ingin menggunakan lisensi GPL, mereka menawarkan lisensi sendiri yang telah disetujui oleh OSI. Software yang memiliki lisensi di bawah lisensi open source atau yang lebih dikenal dengan General Public Licences (GPL) dapat dikembangkan oleh masyarakat pengembang software di seluruh dunia yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan software tersebut dan memperbaiki kegagalan software (bug fixes). Sebagai contoh software Linux (www.linuxfoundation.org), semenjak tahun 2005 telah lebih dari 3700 pengembang yang telah memberikan kontribusinya pada proyek tersebut (Schneider, 2008:1). OSS tidak sama dengan “public domain” software (milik maysarakat). Hak cipta masih melekat pada software tersebut, dan masyarakat tidak bisa mengklaim bahwa software tersebut tidak memiliki hak cipta (Library Technology Reports, 2008:6). Perlu diingat GPL juga tidak mengatur apapun tentang harga. Meskipun terdengar aneh, namun orang dapat menjual Free Software. Maksudnya ‘free’ adalah kita memiliki kebebasan untuk melakukan segala sesuatu terhadap source code program tersebut, tapi tidak dalam hal ‘free’ harga (hal ini tergantung dari para developer, meskipun developer telah menjual atau bahkan memberikan software GPL, developer juga berkewajiban untuk memberikan source code nya juga) (Bimagets, 2009:1). Terkadang beberapa perusahaan yang menyediakan OSS tidak selalu bebas dari biaya. Biasanya mereka menawarkan layanan tambahan yang mengisyarakatkan pula biaya tambahan. Menurut Chudnov (2009:22) bahwa free software bukanlah tentang biaya, dan bukan tentang propaganda, dan bukan tentang memangkas bisnis vendor, tetapi ini tentang kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah bebas untuk menggunakan, bebas untuk mempelajari, bebas untuk memodifikasi, dan bebas untuk menyalin (GULA ASIN). Prinsip dasarnya adalah sbb:

1. Bebas menjalan program tersebut untuk tujuan apa saja
2. Bebas mengkaji bagaimana program tersebut bekerja, dan mengadaptasinya sesuai dengan kebutuhan
3. Bebas mendistribusikan salinannya kembali untuk membantu pengguna lainnya
4. Bebas untuk mengembangkan program tersebut dan merilisnya ke publik Lebih lanjut dapat dilihat pada http://www.fsf.org/licensing dan http://open source.org/licenses. Plus minus OSS Pengembangan software berbasiskan open source selain memberikan beberapa keuntungan, terutama menyakangkut harga (Corrado, 2006:2), tetapi juga memiliki kelemahan. Hariyanto (2001:3) menemukan beberapa permasalahan seputar OSS, antara lain bahwa adakalanya proyek software tidak dapat terlaksana karena semakin banyakanya perbedaan pendapat dalam pengembangan software tersebut. Bahkan tak jarang terjadi konflik. Mereka berdebat tentang hal-hal yang tidak berguna. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan karena perdebatan tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa. Bilamana hal ini telah terjadi dapat mengakibatkan tertundanya proyek yang sedang mereka kerjakan, bahkan tidak tertutup kemungkinan proyek tersebut menjadi gagal. Jika seorang pengembang merasa tidak puas dengan para pengembang lain dalam membuat suatu proyek, maka ia dapat berpisah dan mengeluarkan proyek baru, Oleh karenanya diperlukan seorang pemimpin yang mampu bekerja sama dengan rekan-rekannya yang lain untuk membuat suatu arahan yang jelas tentang proyek. Namun penunjukan seorang pemimpin terkadang juga mengandung resiko. Proyek-proyek open source biasanya dimulai oleh satu atau beberapa orang, sehingga ketergantungan menjadi sangat tinggi. Dengan berlalunya waktu, para pemimpin tersebut mungkin menjadi bosan, burn-out, dipekerjakan oleh organisasi lain. Akibatnya proyek-proyek yang mereka tangani dapat menjadi tertunda atau bahkan mungkin hilang. Sebagai contoh dua orang pembuat aplikasi GIMP, aplikasi open source untuk image editing seperti Adobe Photoshop, setelah mereka lulus dari Universitas California di Berkeley dan bekerja di organisasi lain, maka aplikasi GIMP yang mereka tulis sewaktu masih menjadi mahasiswa tertunda selama dua tahun pada saat versi 0.9, sebelum akhirnya diteruskan oleh para pengembang baru lain. Lebih lanjut Heryanto mengatakan bahwa umumnya software-software yang dikembangkan disebabkan karena menarik minat pengembang baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya kecendrungan model open source yang dimulai oleh seorang individu maka pengembangannya akan lebih bersifat developer oriented, yang berarti software yang lebih kompleks, namun belum tentu lebih bermanfaat. Pengembang akan membuat software-software yang terlihat menyenangkan, seperti membuat themes untuk GNOME, KDE maupun editor, dibandingkan dengan membuat aplikasi-aplikasi yang dianggap membosankan seperti Office Suites. Tanpa adanya insentif lain maka akan banyak proyek mati karena pengembang awal telah kehilangan minat dan tidak ada yang meneruskan. Sama halnya dengan pendapat di atas, Mustafa (2009:1) juga membandingkan antara kekuatan dan kelemahan OSS, seperti terlihat pada tabel berikut ini. Kekuatan FOSS Kelemahan FOSS Banyak tenaga programmer yang terlibat mengerjakannya sehingga hasilnya terjamin. Masalah yang timbul berkaitan dengan intelectual property atau masalah pelaggaran hak cipta Adanya peer review meningkatkan kualitas software Para hacker justru akan memanfaatkan keterbukaan kode program dalam melakukan hal-hal yang dapat merugikan pengguna aplikasi Masa depan software lebih terjamin. Tidak ada ketakutan akan kehilangan programmer yang akan melanjutkan pengembangan dan pemeliharaan program Sejumlah bukti menunjukkan model pengembangan free open source software justru membutuhkan dana yang besar dan waktu yang lama dalam implementasinya Kesalahan (bugs) lebih cepat ditemukan Tidak banyak SDM yang dapat memanfaatkan program secara optimal Terbentuknya banyak pilihan dan “rasa”. Fleksibilitas tinggi karena banyak pilihan Pengalaman menunjukkan bahwa para pengembang yang mengakses kode program cenderung hanya mengubahnya untuk kepentingan sendiri dari pada menganalisis kelemahan dan memperbaikinya untuk kepentingan orang banyak Tidak harus mengulangi pekerjaan yang sudah dilakukan programmer lain (prinsip reuse) Beberapa jenis dan versi hardware sering tidak dikenali Relatif bebas dari gangguan virus yang sering menjengkelkan Tidak ada perorangan atau lembaga yang bertang-gungjawab khusus dalam memelihara sistem Tabel 1. Keunggulan dan kelemahan OSS Rahardjo (2004:3) mencoba membandingkan pro dan kontra penggunaan software dengan kode tertutup dan kode terbuka. Berikut ini akan dipaparkan hasil perbandingan tersebut. Pro Kontra Langsung pakai, tidak perlu pusing mengembangkan lagi Mahal Adanya support dari pembuat software. Institusi tidak memiliki SDM untuk melakukan support. Ketergantungan kepada pembuat software. Terima apa adanya dari vendor. Bagaimana jika mereka gulung tikar? Tidak dapat memperbaiki sendiri jika ada masalah Hanya ada satu produk yang perlu dikuasai. GUI konsisten. Training menjadi lebih sederhana. Monoculture (kultur tunggal) berbahaya untuk keamanan. Jika ada masalah (misal virus) maka semua kena dan menunggu solusi dari vendor. (Bagaimana kalau vendor lambat memberikan solusi?) Dikarenakan tidak dapat dikembangkan sendiri, tidak ada jaminan bahwa sistem tidak dimasuki kuda troya (trojan horse) sehingga kurang disukai untuk sistem yang bersifat rahasia. Tabel 2. Penggunaan software closed source Pro Kontra Bisa diubah, dimodifikasi, diperbaiki sendiri. Feature yang dibutuhkan bisa ditambahkan sendiri bila pengembang tidak bersedia. Kadang-kadang tidak bisa langsung dipakai dan harus “dioprek” dulu. Membutuhkan SDM yang bisa melakukan utak-atik. Umumnya murah atau gratis Kadang-kadang tidak memiliki support yang dapat bertanggung jawab. Meski demikian ada komunitas yang dapat dimintai bantuan. Cream of the crop. Software merupakan yang terbaik di bidangnya. Banyaknya software yang harus dipelajari yang kadang-kadang berbeda-beda cara penggunaannya. (GUI tidak konsisten.) Training menjadi merepotkan. Interoperability juga bisa dipertanyakan. Jika software tidak dioprek, untuk apa menggunakan open source? Tabel 3. Penggunaan software open source Terlepas dari kelemahan, pro dan kontra OSS yang perlu disikapi adalah bahwa OSS merupakan pilihan yang bijak bagi perpustakaan yang memiliki keterbatasan biaya. Pemanfaatan OSS untuk Sistem Informasi Perpustakaan Ketika suatu perpustakaan berencana membangun otomasi perpustakaan, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa otomasi bukanlah masalah besar. Secara gamblang Hakim (2008:14) berpendapat bahwa apabila pengelola perpustakaan sekolah atau pimpinan sekolah memiliki pengetahuan tentang komputerisasi perpustakaan, maka mereka akan menyadari bahwa komputerisasi perpustakaan bukanlah hal yang sulit dan mahal. Hanya dengan sebuah komputer, perpustakaan sudah dapat membangun otomasi perpustakaan. Selain bertindak sebagai alat untuk menginput data, dan alat telusur (OPAC), komputer tersebut juga berfungsi sebagai server. Namun sebaiknya, perpustakaan minimal memiliki dua unit komputer. Selanjutnya adalah ketersediaan software aplikasi untuk otomasi perpustakaan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini telah banyak beredar Sistem Informasi Perpustakaan yang bebas pakai. Perangkat lunak yang dapat digunakan gratis untuk membangun sistem informasi perpustakaan, antara lain Athenaeum Light, OpenBiblio, PhpMyLibrary, Otomigen-X, X-igloo, Sanayan, dan lain-lain. Namun sebelum memulai memanfaatkan OSS tersebut, yang perlu dipertimbangkan adalah apakah perpustakaan hanya akan merencanakan untuk otomasi saja atau direncanakan untuk perpustakaan elektronik atau digital? Dalam bahasa sederhana apakah berbasis web sehingga pemakai dapat mengakses koleksi perpustakaan via internet atau tidak? Athenaeum yang dirilis oleh Light Sumware Consulting, New Zealand (dimodifikasi oleh Didik Witono) adalah pilihan yang baik apabila suatu perpustakaan hanya berencana untuk otomasi saja. Tercatat beberapa perpustakaan telah memanfaatkan software ini, seperti Perpustakaan Universitas Paramadina, Perpustakaan LSM dan Pribadi, Perpustakaan Umum Kebumen, dan beberapa perpustakaan sekolah. Fitur yang ditawarkan cukup komplet untuk ukuran software yang gratis, mulai dari fasilitas input data bibliografi, penelusuran, sampai pada peminjaman, pengembalian yang didukung oleh barcode, dan laporan. Selain itu, software ini juga menyediakan fasilitas administrasi yang berfungsi untuk merubah beberapa setting seperti memasukkan data organisasi, memasukkan nama administrator, merubah setting athenaeum menjadi multi-user, menetapkan jumlah maksimal buku yang dapat dipinjam, membuat batasan masa atau waktu peminjam dan juga merubah default kertas yang akan dicetak. Athenaeum Light juga menyediakan fasilitas untuk membuat barcode yang berfungsi untuk memudahkan pengelola perpustakaan/taman bacaan dalam melakukan transaksi peminjaman, pengembalian dan juga perpanjangan buku. Untuk membuat barcode yang diperlukan adalah meng-install font barcode terlebih dahulu ke komputer. Gambar 1. Tampilan Depan Athenaeum Light Saat ini, beberapa perpustakaan sudah mulai mengembangkan perpustakaannya ke arah perpustakaan elektronik berbasis web. Ide dasarnya adalah untuk memudahkan pemakai memanfaatkan jasa perputakaan dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak saja dimanjakan dengan kemudahan akses, tetapi juga dapat membaca, mendengarkan, menonton, bahkan mengunduh media tertentu secara online. Software OtomigenX, OpenBiblio, dan Senayan adalah beberapa contoh OSS berbasis web. Untuk menjalankan software tersebut, terlebih dahulu harus menginstal web server, seperti apache (www.apache.org), atau apachefriends, seperti XAMPP, dan WAMP yang dapat diunduh pada http://www.sourceforge.net/. Berikut ini contoh gambar web server yang menggunakan XAMPP. Gambar 2. Control Panel XAMPP Web server digunakan untuk menguji atau menjalan software berbasis web secara lokal (seolah-olah sedang browsing di internet). Dengan demikian, software tersebut sudah dapat dijalan melalui jaringan lokal (LAN) atau intranet. Untuk menguji apakah web server sudah berjalan dengan benar atau tidak, dapat dilakukan dengan membuka browser (firefox, Internet explorer, opera, dll) dengan mengetikan http://localhost/phpmyadmin/. Apabila muncul seperti gambar di bawah ini, maka web server tersebut sudah dapat menjalankan program aplikasi yang akan digunakan. Gambar 3. Tampilan phpMyadmin Langkah selanjutnya adalah menginstal program aplikasinya. Untuk itu, memang disarankan dilakukan oleh mereka yang memahami dasar-dasar pemograman, terutama bahasa program yang digunakan oleh software tersebut, misalnya PHP. Beberapa software terkadang tidak menyediakan fasilitas installer. Pengguna harus mengedit beberapa file utama dari program tersebut secara manual. Biasanya file-file utama yang harus diedit tersebut adalah config.php, db.php, dan settings.php. Setelah itu, membuat database pada kolom “ciptakan database baru.” Kemudian salin database software yang akan digunakan tersebut (biasanya berekstensi *.txt yang dapat dibaca dengan notepad) ke toolbar SQL. Secara otomatis tabel-tabel akan terbentuk dan siap digunakan. Apabila, setingan telah diubah dan database sudah jalan, maka otomasi perpustakaan sudah dapat dijalankan. Sebelum itu, sangat dianjurkan membaca manual atau pedoman penggunaan software tersebut. Berikut ini akan diperlihatkan tampilan depan dan ruang administrasi dari software OpenBiblio, OtomigenX, dan Senayan. Gambar 4. Tampilan OPAC OtomigenX Gambar 5. Tampilan Ruang Administrator OtomigenX OpenBiblio merupakan salah satu Library Software yang ‘free’ dengan lisensi GNU/GPL. Walaupun ”free‘, OpenBiblio cukup handal dengan modul yang lengkap seperti modul penelusuran (Online Public Access Catalog = OPAC), sirkulasi, cataloging, reports dan admin, mendukung LAN dan juga nomor barcode. Dan yang tak kalah penting adalah struktur database OpenBiblio sesuai dengan standar perpustakaan yang dikenal dengan format MARC (Machine Readable Catalog). Software opensource (perangkat lunak bebas) ini dikembangkan oleh seorang programmer bernama Dave Stevens. OpenBiblio dijalankan bersamaan dengan software – software lain, yang juga opensource, yaitu Apache – MySQL – Php (AMP Applications). Gambar 6. Tampilan OPAC OpenBiblio Gambar 7. Tampilan Ruang Administrator OpenBiblio Senayan adalah OSS yang sedang marak diperbincangkan oleh orang-orang di dunia perpustakaan karena perangkat lunak ini dirasa memiliki fasilitas paling komplet di antara aplikasi berbasis free open source yang pernah ada. Software ini dikembangkan dari software Alice yang digunakan oleh Perpustakaan British Council. Senayan merupakan aplikasi berbasis web dengan pertimbangan cross-platform. Sepenuhnya dikembangkan menggunakan Software Open Source yaitu: PHP Web Scripting Language, (www.php.net) dan MySQL Database Server (www.mysql.com). Untuk meningkatkan interaktitas agar bisa tampil seperti aplikasi desktop, juga digunakan teknologi AJAX (Asynchronous JavaScript and XML). Senayan juga menggunakan Software Open Source untuk menambah fittur seperti PhpThumb dan Simbio (development platform yang dikembangkan dari proyek Igloo). Karena pengembangan senayan dibiayai dengan dana dari APBN maka sudah sepantasnya semua rakyat Indonesia bisa memperolehnya secara bebas. Untuk itu Senayan dilisensikan dibawah GPLv3 yang menjamin kebebasan dalam mendapatkan, memodi_kasi dan mendistribusikan kembali (rights to use, study, copy, modify, and redistribute computer programs). Gambar 8. Tampilan OPAC Senayan 3.9 Gambar 9. Tampilan Ruang Administrator Senayan 3.9 Simpulan Dengan segala keunggulan dan kelemahan OSS, para pengelola perpustakaan patut bersyukur bahwa sekarang telah banyak hadir software “bebas” yang dapat dengan mudah diperoleh melalui internet. Perlu disadari bahwa OSS dikembangkan bukan untuk individu, melainkan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan software perpustakaan harus mendorong dan pro aktif mengembangkan OSS ini. Dengan harapan bahwa perpustakaan berperan aktif dalam memajukan pendidikan di Indonesia. *) Terima kasih kepada para pengembang OSS Perpustakaan, terutama kepada Pengembang OSS Senayan.

Daftar Pustaka

Bimagets. Sekilas Tentang Open Source. [Online]. Dapat diakses pada: http://bimagets.wordpress.com/2009/05/13/ngecat-konsole-bisa-g-ya/. [Diakses pada tanggal 14 Me1 2009]

Breeding, Marshall . Opening Up Library Automation Software. Computers in Libraries. Westport: Feb 2009. Vol. 29, Edisi 2; pg. 25, 3 pgs

Chudnov, Daniel . What Librarians Still Don’t Know About Free Software. Computers in Libraries. Westport: Feb 2009. Vol. 29, Edisi 2; pg. 22, 3 pgs

Computers, Networks & Communications. OpenLiberty.org; OpenLiberty.org Releases Open Source Code for Driving Security and Privacy Into Web Services and Web 2.0 Applications. Laporan. Atlanta: Mar 17, 2008. pg. 735

Corrado, Edward M. The Importance of Open Access, Open Source, and Open Standards for Libraries. [Online]. Dapat diakses pada: http://www.istl.org/05-spring/article2.html [Diakses pada tanggal 3 Maret 2009].

Hakim, Heri Abi Burachman. Komputerisasi Perpustakaan dengan Murah. Kompas. Rabu, 11 Juni 2008.

Heriyanto Tedi. Pengembangan Software Berbasiskan Open Source di Indonesia. (edisi revisi). tedi.heriyanto.net/papers/pengembangan.html. 8 Mei 2001

Library Technology Reports. Open Source Library Automation: Overview and Perspective. Laporan. Chicago: Nov/Dec 2008. Vol. 44, Edisi 8; pg. 5, 6 pgs

Rahardjo Budi. Pemanfaatan Teknologi Informasi di Perguruan Tinggi. budi2.insan.co.id/articles/IT-usage-at-university.doc. 2004 Schneider, Karen . Free for All. School Library Journal. New York: Aug 2008. Vol. 54, Edisi 8; pg. 44, 1 pgs

Pendahuluan

Dalam makalah ini saya memulai dengan bermacam istilah yang digunakan oleh pakar perpustakaan dan informasi untuk menggambarkan suatu perpustakaan. Istilah-istilah yang muncul tersebut antara lain, perpustakaan konvensional atau tradisional (conventional/ traditional library), perpustakaan elektronik (electronic library), perpustakaan digital (digital library), perpustakaan hibrida (hybrid library), dan perpustakaan maya (virtual library). Di antara istilah tersebut yang paling sering didengung-dengungkan adalah perpustakaan elektronik dan perpustakaan digital. Dalam beberapa pertemuan yang pernah saya ikuti, baik nasional maupun daerah, baik secara personal maupun lembaga, istilah perpustakaan elektronik selalu menjadi isu utama diskusi. Bahkan sering suatu diskusi menjadi membingungkan, ketika konsep otomasi perpustakaan melebar menjadi konsep perpustakaan elektronik. Terkadang, diskusi-diskusi sering tidak diakhiri dengan kesimpulan yang memuaskan tetang konsep perpustakaan elektronik. Pada kesempatan ini saya mencoba kembali mendiskusikan apa sebenarnya yang kita inginkan dari penerapan teknologi informasi untuk perpustakaan? Benarkah kita telah siap untuk mengembangkan perpustakaan elektronik, atau apakah pemakai kita telah menghendaki perpustakaan elektronik tsb?

Artikel lengkap dapat diklik di: https://arwendria.files.wordpress.com/2009/04/perustakaan-hibrida.pdf

Pendahuluan

Peran komputer dalam pengajaran bahasa terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Apabila awalnya hanya digunakan untuk drills dan latihan yang lebih memfokuskan pada penguasaan kosakata dan tatabahasa, tetapi dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pendidikan memberikan peluang untuk mengintegrasikan teknologi komputer ke dalam proses belajar mengajar bahasa. Hasilnya saat ini dapat dilihat semakin banyaknya perangkat lunak multimedia dan program simulasi yang khusus untuk pengajaran bahasa. Siswa diberikan keadaan sesungguhnya terhadap apa yang sedang dipelajarinya. Beberapa perangkat lunak, seperti “Ticket” yang diproduksi oleh Bluelion Software merupakan program yang menyajikan situasi sesungguhnya dari budaya suatu Negara. Selain itu, perangkat lunak yang dikemas dalam bentuk permainan, seperti “Where in the World Is Carmen Sandiego?” oleh Broderbund Software atau “Trivial Pursuit” dari Gessler Publisher.

Permasalahan sebenarnya adalah, apakah teknologi informasi, terutama komputer mampu memberikan inovasi dalam pengajaran bahasa? Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muehleisen (1997) menyaimpulkan bahwa pendapat para guru yang belum pernah menyentuh komputer akan mengatakan “tidak,” sebaliknya yang pernah akan mengatakan “ya.” Belisle (1996) membuktikan bahwa dengan menggunakan komputer, siswa menjadi lebih mampu memecahkan permasalahannya dan menjadi komunikator yang lebih baik. Melalui jaringan komputer, siswa memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dan bekerja bersama dengan temannya dari kelas lain, kelompok, dan guru. Jaringan tersebut dapat membantu pembelajar menciptakan, menganalisa, dan memproduksi informasi dan ide-ide lebih mudah dan efisien. Selain itu, melalui akses elektronis tersebut, dapat meningkatkan kesadaran siswa dengan dunia di sekitar mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa komputer merupakan media mengajar yang hebat, khususnya dalam pengajaran bahasa dalam berbagai aspeknya, seperti penguasaan kosakata, tatabahasa, komposisi, pronunciation, atau communicative skill lainnya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa keuntungan dari penggunaan komputer untuk pengajaran bahasa.

Motivasi dan Ketertarikan

Disadari atau tidak, di dalam kelas, guru sering menyuruh siswa melakukan latihan secara berulang-ulang dengan harapan siswa dapat memahaminya. Namun, cara ini sering membosankan, dan membuat frustrasi yang pada akhirnya siswa tidak tertartik dan termotivasi untuk belajar bahasa asing. Program CALL menawarkan siswa dengan keasikan dan kesenangan. Program tersebut mengajarkan bahasa dalam cara berbeda dan lebih menarik, atraktif dan menyajikan pengajaran bahasa melalui game, grafis animasi dan teknik pemecahan masalah (Ravicahndran, 2007).

Individualisasi

Terkadang beberapa siswa membutuhkan waktu tambahan dan latihan secara individu untuk menguasai apa yang dipelajarinya. Komputer menawarkan cara belajar mandiri tanpa harus takut salah, malu, atau dimarahi guru. Cara ini dapat dilakukan siswa berulang-ulang sampai mereka memahami tujuan pelajaran tersebut. Dengan kata lain, komputer memberikan perhatian lebih individualistic kepada siswa untuk menjawab dan perintah-perintah yang diberikan.

Kesesuaian Cara Belajar

Siswa memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Banyak siswa belajar merasa lebih efektif jika cara belajar yang diusung guru sesuai dengan cara pandang mereka. Masalah serius akan muncul bila ternyata guru lebih asik mengembangkan caranya sendiri tanpa mempertimbangkan apakah cara mengajar tersebut sesuai dengan cara belajar siswanya. Untuk itu, komputer dapat digunakan untuk mengadaptasi pengajaran menurut cara siswa secara individu.

Error Analysis

Pangkalan data komputer dapat digunakan oleh guru untuk mengelompokkan dan membedakan jenis-jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan menghitung berapa banyak kesalahan itu terjadi. Kesalahan tersebut dapat dikelompokkan menurut tatabahasanya, penggunaan kata, atau penulisannya. Dalgish (1987) dalam Ravichandran (2007) menemukan bahwa orang Cina lebih cendrung tidak menggunakan article a/an dari pada the. Dalam hal ini, komputer dapat menganalisis kesalahan-kesalahan spesifik yang dibuat oleh siswa.

Pemandu

Pengolah kata (word-processor) dalam komputer merupakan program yang sangat efektif dalam memandu pengajaran, terutama dalam menulis. Kemampuan yang dimilikinya untuk membuat, dan memanipulasi teks dengan mudah merupakan keunggulan lain dari program pengolah kata. Program tersebut dapat dengan mudah memandu siswa dalam membuat paragraph, menentukan kesalahan pengetikan, dan pemilihan kata. Keuntungan yang diperoleh guru adalah bahwa guru tidak perlu mengontrol dengan penuh kesalahan yang dibuat oleh siswa karena komputer telah otomatis menjadi pemandu mereka.

Internet

Munculnya Internet dan penggunaan TIK yang telah secara luas mempengaruhi kehidupan manusia telah menciptakan peluang baru dalam bidang pengajaran bahasa. Karena hampir semua content yang tersedia dalam Internet berbahasa Inggris, para guru bahasa Inggris dapat dengan mudah mengakses berbagai macam bahan bacaan tanpa perlu bayar. Khususnya di Negara non-English, seperti Indonesia, dimana masih sulit mencari bahan bacaan yang relevan dan up to date, Web merupakan sumber informasi yang tak ternilai, baik dalam memperoleh bahan pengajaran, maupun untuk mengeksplorasi dunia hanya dengan mengklik mouse.

Dari sudut siswa, Muehleisen (1997) menyatakan bahwa siswa tertarik memanfaatkan Internet dengan tiga alasan. Alasan pertama, siswa memandang Internet sebagai trend dan ingin menjadi bagian darinya. Alasan kedua, siswa menyadari bahwa mayoritas informasi yang beredar di Internet adalah berbahasa Inggris, dan mereka mulai memahami istilah-istilah tertentu yang bermanfaat dalam penguasaan keahlian berbahasa Inggris. Alasan ketiga, Internet juga menawarkan pengalaman praktek berbahasa langsung dengan memberikan siswa pengalaman functional communicative yang akan mampu memotivasi mereka dalam menggunakan bahasa Inggris sehari-hari.

 Alasan Penggunaan Internet dalam Kelas Bahasa Inggris

Banyak argumentasi yang dikemukan oleh berbagai penulis tentang manfaat Internet untuk pengajaran bahasa, terutama bahasa Inggris. Berikut ini akan dijelaskan alasan pentignya Internet untuk pengajaran bahasa Inggris:

  • Belajar menggunakan komputer dengan sendirinya dapat memotivasi untuk belajar bahasa Inggris. Berdasarkan pengalaman dari Muehleisen (1997) bahwa masih banyak siswanya yang belum mempu menggunakan komputer, tetapi ketika mereka diajarkan bagaimana pentingnya memahami komputer, rata-rata siswa akan tertarik dan ingin menguasainya.
  • Internet menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Siswa dapat memahami bahwa mayoritas informasi yang beredar di Internet adalah berbahasa Inggris. Mereka juga menemukan bahwa mereka dapat menggunakan bahasa Inggris sebagai media untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain di seluruh dunia, dan tidak hanya terbatas pada Negara yang berbahasa Inggris saja. Tentu saja siswa ingin berkomunikasi dengan native speaker, tetapi banyak dari siswa lebih ingin berkomunikasi dengan orang-orang dari Negara-negara lain.
  • Internet merupakan media interaktif. Walaupun siswa dalam taraf coba-coba dalam melakukan browsing di Internet, tetapi tanpa disadarinya mereka telah berpikir dan berusaha menggunakan istilah-istilah tertentu dalam bahasa Inggris, dan hasilnya dapat mereka peroleh seketika itu juga. Selain itu, hampir semua web site menyediakan alamat e-mail, sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan atau mengirim komentarnya.
  • Fasilitas untuk menggunakan Internet relatif mudah diperoleh. Di beberapa Negara maju, fasilitas Internet telah tersedia di labor komputer. Namun, kondisi yang sama belum sepenuhnya ada di Negara berkembang, seperti Indonesia. Hanya ada pada beberapa sekolah tertentu saja. Walaupun demikian, dengan perkembangan TIK saat ini, hampir di setiap sekolah telah memiliki labor komputer, namun belum terhubung dengan Internet. Padahal fasilitas itu dengan mudah diaplikasikan dengan menghubungkan komputer via telepon (telkomnet instant)

Komponen yang Dibutuhkan

1. Integration

Yang paling penting dalam program pendidikan bahasa Inggris harus terintegrasi, bukan merupakan program tambahan. Guru harus terlibat langsung dengan program tersebut, misalnya pemberian pekerjaan rumah dan interaksi kelas

2. Kemampuan Komputer

Siswa tidak selalu memiliki keahlian dalam menggunakan komputer, terutama dalam menggunakan Internet. Tetapi, berdasarkan pengalaman Trokeloshvili, (2007) siswa tidak harus memiliki keahlian khusus untuk menggunakan Internet. Dari 230 siswa yang diajarnya, hanya 3 orang yang memiliki e-mail, dan hanya 10 orang yang terbiasa menggunakan komputer. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang paling terpenting adalah mengajarkan langkah-langkah sederhana bagaimana menggunakan komputer dan Internet,

3. Keaktifan Guru

Guru harus aktif memotivasi siswa untuk memnggunakan Internet. Kalau perlu, guru harus membuat handout atau petunjuk menggunakan komputer dan Internet, terutama bagaimana menggunakan web browser atau mengirim e-mail.

Teknik Pengajaran Menulis dengan Bantuan Internet

Teknik pengajaran bahasa yang ditawarkan oleh Krajka (2007) sangat sederhana dan relatif lebih mudah untuk diterapkan di kelas. Krajka menawarkan tiga elemen dasar dalam pengajaran bahasa terutama menulis, yaitu website yang akan digunakan siswa untuk mencari informasi yang mereka butuhkan, e-mail yang akan digunakan untuk mengirim dan menerima informasi dari manapun juga, dan web publishing yang digunakan untuk menerbitkan karya siswa tersebut. Dari tiga elemen tersebut, Krajka telah melakukan serangkaian percobaan dan inovasi dalam pengajaran bahasa sebagai berikut:

1. A Letter to a Friend

Sebagai pengenalan aktivitas menulis surat ke sahabat, siswa diminta untuk mengakses www.mario.com/card.htn, suatu situs yang menyediakan kartu dan gambar animasi yang dilengkapi dengan musik, dll secara gratis. Aktivitas ini dianggap menyenangkan oleh siswa sewaktu mereka memilih kartu-kartu lucu, dan menulis beberapa baris kata kepada temannya. Setelah itu, mereke diharuskan mengirim kartu tersebut kepada temannya melalui e-mail. Persyaratan yang diharuskan oleh situs ini adalah siswa harus telah memiliki e-mail sendiri.

2. A Formal Letter

Sewaktu mengajarkan A Formal Letter, siswa diminta untuk mengunjungi situs World Wildlife Fund (http://www.panda.org/home.cfm). Di situs tersebut, siswa dapat membaca masalah-masalah yang terjadi di seputar dunia mereka, khususnya tentang spesies langka yang ada di muka bumi ini.

3. A Description of a Person

Siswa diminta untuk menggambarkan seseorang yang dipilih berdasarkan keinginanannya (bisa salah seorang teman sekelas, atau guru yang sangat mereka kenal). Kemudian siswa disuruh membuat tulisan pendek tentang orang tersebut. Tulisan tersebut dikirimkan kepada siswa lain melalui e-mail. Siswa yang menerima e-mail tersebut harus mampu menduga siapa yang dimaksud oleh si pengirim.

4. An Argumentative Essay (Berpasangan atau Berlawanan)

Siswa diberikan bacaan tertentu yang dianggap mampu memancing argumentasi siswa dan lebih mutakhir sesuai dengan tingkat pemahaman siswa. Bahan bacaan tersebut biasanya yang berhubungan dengan masalah remaja. Bacaan tersebut akan diranking oleh guru, baik dari sisi gramatikanya, kekayaan leksikalnya maupun isi bacaannya juga. Agar siswa lebih terbantu dalam menulis essay yang benar-benar sesuai dengan situasi sebenarnya, maka siswa diarahkan untuk mengakses situs Ohio University CALL Lab menyediakan topik-topik untuk essay dengan alamat http://www.ohiou.edu/esl/project/index.html. Siswa diminta untuk mengeksplorasi essay tersebut dan apabila ada argumentasi yang meragukan, siswa dapat mengakses informasi dari situs tersebut atau situs lain yang berhubungan dengan topik tersebut.

5. A Description of a Festival of Ceremony

Internet yang berdasarkan defenisi umum merupakan multi cultural dan tanpa batas, merupakan sumber informasi yang terbaik untuk mengetahui adapt istiadat dan kebiasaan Negara lain di muka bumi ini. Berselancar di Internet dan mengekplorasi tradisi dan kebudayaan atau upacara-upacara yang belum diketahui, seperti sama dengan menonton film, mendengar musik tradisional atau gambar-gambar yang dapat memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi siswa.

Untuk mendeskripsi suatu festival atau perayaan yang lebih otentik dan bermakna, siswa dibimbing untuk mengekplotasi potensi yang ada di WWW. Siswa diminta untuk memilih salah satu festival atau perayaan yang dapat mereka telusur di www.tourism.com. Siswa diharuskan menulis kembali festival atau perayaan yang mereka pilih dan dilengkapi dengan gambar-gambarnya.

6. A Newspaper Report

Telah dijelaskan sebelumnya, bila membicarakan penelusuran informasi melalui Web maka sudah seharusnya informasi yang dicari adalah informasi yang sedang terjadi atau yang sedang hangat dibicarakan. Surat Kabar on-line merupakan sumber informasi virtual terkini yang dapat diperoleh secara gratis. Untuk mengakses indeks surat kabar dari berbagai penjuru dunia dapat mengakses www.onlinenewspaper.com. Siswa diminta untuk mencari berita terkini dan membuat ringkasan dari berita tersebut, membaca tajuk utama dan meminta mereka untuk membuatnya menjadi suatu kalimat yang utuh, memprediksi dan merekonstruksi isi dari suatu artikel, membandingkan penyajian berita yang sama dari surat kabar Negara lainnya. Selain itu, siswa diminta untuk mengamati kejadian di sekelilingnya, dan kemudian menulisnya dalam bentuk berita.

7. A Description of a Place

Web merupakan tempat yang tepat untuk mencari tempat yang belum pernah diketahui sebelumnya. Untuk itu, siswa diminta untuk mengakses situs www.travel.com atau www.go.com. Siswa diminta untuk mendeskripsikan tempat yang ingin mereka kunjungi itu. Selain itu, siswa diharuskan membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai tempat yang mereka kunjungi tersebut.

Hampir sama dengan konsep Krajka di atas, Tan (2007) mengusung perpaduan konsep Cooperative Learning dan Teknologi Informasi dengan teknik membaca K-W-L.

1. K – what I Know – guru memandu siswa untuk brainstorming dengan apa yang mereka ketahui dengan suatu topik dan bagaimana cara mereka memperoleh informasinya. Kemudian, guru membantu siswa untuk mengeluarkan ide-idenya ke dalam kategori-kategori yang lebih umum.

2. W- what I Want – Selagi siswa memikirkan topik dan kategori umum dari suatu informasi, mereka harus membuat pertanyaan-pertanyaan dari topik yang ingin mereka ketahui.

3. L – what I’ve Learned – Siswa membaca teks (cetak atau elektronik) untuk menemukan jawaban dari pertanyaan mereka. Selama membaca, siswa akan memperoleh pengetahuan baru dari apa yang telah mereka pelajari. Mereka akan terus mencari jawaban dari bacaan lain yang mereka cari sendiri.

Prosedur pelajaran yang dikembangkannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Pre-Writing

Pelajaran ini diawali dengan penjelasan guru ke siswa tentang suatu topik yang akan mereka pelajari, misalnya Endangered Animal. Masing-masing siswa menulis salah satu tema sebagai berikut:

(a) A day in the life on endangered animal

b) My most memorable experience as a (nama dari suatu endangered animal, misalnya anak panda, dll)

(c) My most frightening experience as a (nama dari suatu endangered animal, misalnya harimau Sumatera, dll)

Setelah itu, guru menjelaskan bahwa mereka akan bekerja secara berpasangan untuk mencari informasi tersebut dan melakukan riset pada Web yang sesuai dengan topik dan nama binatang yang mereka setujui bersama. Selama riset, mereka diperkenankan untuk menelusur informasi yang relevan mengenai tempat, karakter, dan plot dari cerita yang mereka tulis. Setelah siswa memperoleh informasi tersebut, guru memilih salah satu endangered animal, misalnya harimau. Siswa disuruh untuk memberikan pendapatnya tentang harimau tersebut. Pendapat siswa tersebut diketik pada MS Word Document yang dipantulkan pada layar agar seluruh siswa bisa melihatnya. Keuntungan dari cara ini, guru dapat menghapus dan menyalin pendapat siswa tersebut secara langsung. Ketika siswa memberikan pendapatnya tentang harimau tersebut, guru membantu siswa untuk menyusun kembali ide-ide mereka ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti:

(a) Physical Characteristics

(b) Natural Habitats

(c) Diet

(d) Social Habits (mating, Hierarchy, etc)

(e) Reasons why they are endangered

(f) Ways and efforts to save them

Guru kemudian menjelaskan bahwa kategori tersebut dapat dijadikan kata kunci untuk mencari informasinya di Internet. Pada tahap ini, siswa telah melangkah pada tahap K.

Dengan menggunakan Lembaran Strategi K-W-L per siswa, masing-masing anggota kelompok menggunakan kolom K untuk mencatat pengetahuan awal yang mereka peroleh. Masing-masing anggota membandingkan informasi yang mereka peroleh dan membuat pertanyaan-pertanyaan pada kolom W. Setelah itu, masing-masing anggota harus memutuskan pertanyaan-pertanyaan mana yang paling menarik untuk ditanyakan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kelompok lain dapat mencari jawabannya melalui Internet. Jawaban yang ditemukan tersebut, kemudian dibagi dengan pasangannya. Masing-masing pasangan akan mencari pasangan dari kelompok lain yang sama binatangnya. Guru memilih beberapa orang siswa untuk menyajikan temuan-temuannya ke depan kelas. Siswa juga diminta untuk menjelaskan pertanyaan mana saja yang masih belum terjawab. Pertanyan-pertanyaan yang tak terjawab tersebut harus dicari jawabannya oleh setiap siswa melalui Internet. Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut dimasukkan pada kolom L.

2. Writing

Guru meminta siswa untuk membuat pekerjaan rumah dengan menulis kembali bagaimana cara mereka memperoleh informasi selama melakukan riset. Siswa diminta membuat esay dalam bentuk draft yang telah diketik dan dapat ditambah dengan gambar-gambar. Esay yang telah ditulis tadi, kemudian diperiksa oleh anggota kelompoknya dengan menambahkan komentar (pada MS Word menggunakan perintah Insert Comment atau dengan menggunakan kode warna).

Kesimpulan

Perlu diingat bahwa penggunaan komputer dalam pengajaran bahasa bukan dimaksudkan sebagai alternatif pengajaran bahasa, melainkan hanya sebagai alat untuk mengajarkan bahasa. Penggunaan komputer akan memperkaya pengajaran bahasa itu sendiri, apalagi dipadukan dengan pemanfaatan Internet. Dengan Internet, siswa tidak saja memperoleh “mainan” baru, tetapi juga dapat memperoleh informasi lebih otentik dan menarik. Namun yang paling penting adalah bagaimana guru dapat secara aktif menggali potensi siswa dan memanfaatkan teknologi informasi untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan secara inovatif dan menarik.

Bahan Bacaan

Belisle, Ron. Let E-mail Software Do the Work: Time Saving Features for the Writing Teacher. The Internet TESL Journal, Vol. III, No. 6. June 1997. http://www.iteslj.org/Techniques/Belisle-Email.

ERIC Digest. Computer Assisted Writing Instruction. http://www.ericdigest.org/2007

ERIC Digest. Computer-Assisted Language Learning: Current Programs and Projects. http://www.ericdigest.org/1993/language.htm. 2007

Kelly, Charles. How to Make a Successful ESL/EFL Teacher’s Web Page. http://www. aitech.ac.jp/~ckelly. 2007

Krajka, Jarek. Using the Internet in ESL Writing Instruction. http://iteslj.org/ Techniques/Krajka-WritingUsingNet.html. 2007

Muehleisen, Victoria. Projects Using the Internet in College English Classes. http://www.waseda.ac.jp/faculty/96050/index-e.html. 2007

Ravinchandran, T. in the Perspective of Interactive Approach: Advantages and Apprehensions. Rediff homepages. 2007

Tan, Gabriel. Using Cooperative Learning to Integrate Thinking and Information Technology in a Content-Based Writing Lesson. http://iteslj.org/Techniques/Tan-Cooperative.html

Trokeloshvili, David A. and Neal H. Jost. The Internet and Foreign Language Instruction: Practice and Discussion. http://iteslj.org/Articles/Trokeloshvili-Internet.html. 2007

Warschauer, Mark. Computers and Language Learning: An Overview. http://www.gse. uci.edu/faculty/markw/overview.html. 2007


* Disampaikan pada Seminar & Lokakarya Pengajaran Bahasa Inggris Berbasis Teknologi Informasi yang diselenggarakan oleh TEFLIN

** Pemerhati Masalah Pengajaran Bahasa Inggris dan Teknologi Informasi